Jumat, 05 Juni 2009

Makalah Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada umumnya diterima pendapat bahwa pendidikan dalam arti luas bertujuan untuk mensosialisasikan siswa ke dalam nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan dasar dari masyarakatnya. Pendidikan sebagai suatu proses dalam berbagai kesempatan, jauh lebih luas daripada hasil lembaga persekolahan, mencakup interaksi kemasyarakatan di masyarakat itu sendiri.
Berkenaan dengan pendidikan politik bagi siswa sebagai bagian masyarakat pemilih pemula dalam Pilkada diharapkan dapat dijadikan proses pembelajaran untuk memahami kehidupan bernegara. Sebagaimana diketahui bahwa pilkada merupakan proses pergantian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang secara sah diakui hukum, serta momentum bagi rakyat untuk secara langsung menentukan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan aspirasi/keinginan rakyat.
Dalam jalur pendidikan formal sebagaimana kita ketahui dan alami penanaman kesadaran politik dilakukan baik melalui kegiatan-kegiatan intra maupun ekstra kurikuler, sedangkan dalam jalur non formal dan informal proses tersebut berjalan melalui komunikasi sosial secara timbal-balik, di lingkungan keluarga, organisasi-organisasi kemasyarakatan serta forum-forum kemasyarakatan lainnya.
Kekeliruan pandangan umum tentang politik terhadap siswa dapat dipahami, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Bagi siswa kekaburan tentang pandangan politik menjadi besar karena pengalaman-pengalaman di masa lalu dalam praktek kehidupan politik yang lebih menampilkan aspek negatif sehingga menumbuhkan citra yang negatif pula. Misalnya masih adanya fenomena politik uang (money politic) atau politik praktis yang memaksakan kehendak untuk kepentingan sesaat bagi golongan politik tertentu. Hal ini berarti aspek-aspek praktis dari sistem politik yang berlaku lebih berpengaruh dalam pembentukan persepsi kesadaran siswa tentang budaya politik yang kurang benar.
Pada saat ini rata-rata usia siswa SLTA berkisar 16-18 tahun, adapun kegiatan pilkada di beberapa daerah mencakup pilkada untuk kepala daerah tingkat camat, bupati/walikota, hingga gurbernur. Dapat penulis bayangkan berapa kali siswa yang semula sebagai pemilih pemula akan mengikuti perhelatan politik di daerahnya berkenaan dengan pilkada. Jika dianalisis maka seringnya siswa terlibat dalam kegiatan berpolitik akan muncul beberapa kondisi psikologis, diantaranya (1) kejenuhan akibat kegiatan pilkada yang monoton dan siswa sekedar dianggap sebagai “anak bawang” yang belum tentu aspirasi suaranya dapat didengar oleh pemenang pilkada atau penguasa/pemda setempat. (2) pembelajaran berpolitik hanya sesaat, sehingga setelah perhelatan pilkada selesai maka selesailah sudah tugas mereka sebagai anggota masyarakat dalam berdemokrasi. Padahal pemahaman dan etika berdemokrasi sangat diperlukan sepanjang mereka sebagai warga negara dan generasi penerus bangsa untuk memajukan budaya politik yang terpuji.
Di sinilah kita melihat betapa perlunya menyosialisasikan kesadaran politik bagi siswa ke dalam nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan dasar dalam kehidupan kemasyarakatan, dimana kehidupan politik merupakan salah satu seginya. Dan karena tujuan yang demikian itu adalah juga merupakan tujuan dari pendidikan, baik formal maupun informal.
Kesenjangan pendidikan semakin melebar tatkala, orientasi pendidikan itu sendiri masih berfokus pada aspek kognitif, dan siswa lebih banyak diperlakukan sebagai obyek pelengkap dalam proses pembelajaran. Apa yang mereka pelajari di kelas terkadang tidak sesuai dengan kehidupan yang mereka jalani sebagai anggota masyarakat, padahal mereka adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi lingkungannya. (Umberto, 2002).
Memahami kesadaran politik siswa sebagai pemilih pemula dalam Pilkada perlu kiranya diaktualisasikan melalui pembelajaran yang melibatkan langsung diri siswa terhadap fenomena sosial yang terjadi di lingkungan anggota dan aktivitas keluarga (masyarakat)/ dengan pendekatan School-Based Democracy Education. Program ini pada intinya mendekatkan materi pembelajaran dengan obyek sesungguhnya atau pengkajian fenomena sosial secara langsung (Polma,1987). Dengan demikian siswa akan terlibat langsung dengan aktivitas masyarakat dan dirinya sebagai obyek sekaligus subyek dalam berdemokrasi.
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis dalam hal ini terdorong untuk mengkaji lebih dalam dan memfokuskan pada bagaimana peran sekolah terhadap fenomena siswa dalam berdemokrasi sebagai aset bangsa yang memiliki visi dam misi budaya politik yang terpuji. Adapun alasan sekolah sebagai tempat yang dapat mengembangkan pembelajaran demokrasi, dikarenakan pada umumnya lingkungan sekolah telah memiliki unsur-unsur dasar demokrasi yang dapat dikaji dan dipelajari dengan karakter individu yang beragam. Selain itu masyarakat sekolah dapat mewakili sebagai miniatur kegiatan sosial, politik dan budaya yang utuh bagi pembelajaran siswa dalam bedemokrasi.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah penelitian ini ditekankan pada sejauhmana tingkat aktualisasi kesadaran politik siswa sebagai pemilih pemula terhadap Pilkada dengan program School-Based Democracy Education. Aspek kesadaran politik siswa dan proses pembelajaran dikembangkan dengan memperhatikan beberapa indikator sebagai berikut.
1. Partisipasi siswa dalam keterlibatannya secara langsung dalam berpolitik sebagai bagian dari tuntutan sistem demokrasi
2. Siswa mengerti, meresapi, mendalami dan menghayati nilai-nilai hidup kemasyarakatan dan kenegaraan serta sistem organisasi politik yang berlaku.
3. Sistem sosial siswa sebagai remaja yang menggambarkan nilai-nilai dan norma-norma dari kelompok sebaya (peer group).
4. Implementasi dari praktek hidup kenegaraan yang sesuai dan tidak menyimpang dari nilai-nilai ideal yang siswa terima melalui pendidikan politik maupun proses sosialisasi dalam interaksi sosial.
5. Pemahaman yang memadai mengenai pendidikan berpolitik melalui program School-Based Democracy Education yang telah diterapkan.


C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui tingkat kesadaran siswa sebagai pemilih pemula dalam Pilkada
2. Memahami karakteristik pendidikan dan budaya politik siswa sebagai pemilih pemula dalam Pilkada.
3. Mengaktualisasikan pola berdemokrasi di sekolah dan kehidupan sehari-hari siswa dalam lingkup persekolahan dan masyarakat.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan keilmuan dan perbaikan pembelajaran demokrasi, terutama dalam memasyarakatkan budaya politik di kalangan siswa sebagai aset generasi masa depan bangsa.
1. Bagi siswa: memahami konsep-konsep dasar demokrasi dan memberikan pembelajaran yang konkret yaitu pengalaman-pengalaman nyata, sehingga siswa mampu sebagai obyek juga subyek dalam mengaktualisasikan budaya berpolitik. yang terpuji
2. Bagi guru: diharapkan guru dapat mengoptimalkan pembelajaran demokrasi sesuai dengan tujuan kompetensi yang diinginkan dan dapat memecahkan berbagai masalah materi pelajaran demokrasi yang sulit dikembangkan dengan langsung melibatkan sumber materi di lapangan serta melakukan perbaikan-perbaikan pembelajaran.
3. Bagi sekolah: hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik terhadap sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran berbasis democracy education.
4. Bagi Dinas Terkait: sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk pengembangan pendidikan demokrasi bagi generasi muda untuk kegiatan pilkada.


BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pendidikan dan Kesadaran Politik bagi Siswa
Dalam artian umum, pendidikan politik adalah cara bagaimana suatu bangsa mentransfer budaya politiknya dari generasi yang satu ke generasi kemudian (Panggabean, 1994). Sedangkan budaya politik adalah keseluruhan nilai, keyakinan empirik, dan lambang ekspresif yang menentukan terciptanya situasi di tempat kegiatan politik terselenggara.
Pendidikan politik sebagai proses penyampaian budaya politik bangsa, mencakup cita-cita politik maupun norma-norma operasional dari sistem organisasi politik yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Pendidikan politik perlu ditingkatkan sebagai kesadaran dalam berpolitik akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, sehingga siswa diharapkan ikut serta secara aktif dalam kehidupan kenegaraan dan pembangunan.
Pendidikan politik mengupayakan penghayatan atau pemilikan siswa terhadap nilai-nilai yang meningkat dan akan terwujud dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari dalam hidup kemasyarakatan termasuk hidup kenegaraan serta berpartisipasi dalam usaha-usaha pembangunan sesuai dengan fungsi masing-masing. Dengan kata lain pendidikan politik menginginkan agar siswa berkembang menjadi warga negara yang baik, yang menghayati nilai-nilai dasar yang luhur dari bangsanya dan sadar akan hak-hak dan kewajibannya di dalam kerangka nilai-nilai tersebut.
Pendidikan dalam sistem yang demokratis menempatkan posisi yang sangat sentral. Secara ideal pendidikan dimaksudkan untuk mendidik warga negara tentang kebajikan dan tanggung jawab sebagai anggota civil society. Pendidikan dalam artian tersebut merupakan suatu proses yang panjang sepanjang usia seseorang untuk mengembangkan diri. Proses tersebut bukan hanya yang dilakukan dalam lingkungan pendidikan formal seperti sekolah tetapi juga meliputi pendidikan dalam arti yang sangat luas melibatkan keluarga dan juga lingkungan sosial. Lembaga-lembaga pendidian harus mencerminkan proses untuk mendidik warga negara ke arah suatu masyarakat sipil yang kondusif bagi berlangsungnya demokrasi dan sebaliknya harus dihindarkan sejauh mungkin dari unsur-unsur yang memungkinkan tumbuhnya hambatan-hambatan demokrasi (Riza Noer Arfani,1996: 64). Namun demikian di samping dibicarakan masalah kesadaran berpolitik, maka perlu pemahaman pula apa yang dimaksud dengan pengertian budaya politik, menurut Miriam Budiardjo konsep budaya politik ini berdasarkan keyakinan, bahwa setiap politik itu didukung oleh suatu kumpulan kaedah, perasaan dan orientasi terahadap tingkah laku politik (dalam masalah Kenegaraan: 1982:17)

B. Kebudayaan Remaja/Siswa sebagai Pemilih Pemula dalam Pilkada
Siswa atau remaja pada umumnya memiliki suatu sistem sosial yang seolah-olah menggambarkan bahwa mereka mempunyai “dunia sendiri”. Dalam sistem remaja ini terdapat kebudayaan yang antara lain mempunyai nilai-nilai, norma-norma. Sikap serta bahasa tersendiri yang berbeda dari orang dewasa. Dengan demikian remaja pada umumnya mempunyai persamaan dalam pola tingkah laku, sikap dan nilai, dimana pola tingkah laku kolektif ini dapat berbeda dalam beberapa hal dengan orang dewasa (Prijono, 1987).
Nilai kebudayaan remaja antara lain adalah santai, bebas dan cenderung pada hal-hal yang informal dan mencari kesenangan, oleh karena itu semua hal yang kurang menyenangkan dihindari. Disamping mencari kesenangan, kelompok sebaya atau “peer group” adalah penting dalam kehidupan seorang remaja, sehingga bagi seorang remaja perlu mempunyai kelompok teman sendiri dalam pergaulan. Masa pubertas merupakan tahap permulaan perkembangan perasaan sosial. Pada masa ini timbul keinginan remaja untuk mempunyai teman akrab dan sikap bersatu dengan teman-temannya, sedangkan terhadap orang dewasa mereka menjauhkan diri. “Peer culture” ini berpengaruh sekali selama masa remaja sehingga nilai-nilai kelompok sebaya mempengaruhi kelakuan mereka. Seorang remaja membutuhkan dukungan dan konsensus dari kelompok sebayanya. Dalam hal ini setiap penyimpangan nilai dan norma kelompok akan mendapat celaan dari kelompoknya, karena hubungan antara remaja dan kelompoknya bersifat solider dan setia kawan. Pada umumnya para remaja atas kelompok-kelompok yang lebih kecil berdasarkan persamaan dalam minat, kesenangan atau faktor lain.
Berkenaan dengan kapasitas kebudayaan remaja/siswa tersebut, setidaknya dapat dijadikan gambaran penting upaya melihat peta demokrasi dan kesadaran politik kalangan remaja di lingkungan persekolahan sebagai bagian pemilih pemula dalam pilkada. Menurut Bambang, ada tiga tingkat materi yang perlu ditanamkan dalam kurikulum pendidikan berkaitan dengan sosialisasi pemilu melalui kurikulum pendidikan. Ketiga materi tersebut adalah penanaman hakikat pemilu yang benar sehingga memunculkan motif yang kuat bagi pemilih pemula untuk mengikuti pemilu, pemahaman mengenai sistem pemilu, dan pemahaman tentang posisi tawar politik. (seminar "Menggagas Partisipasi Aktif Guru dalam Peta Politik Indonesia" di Bandung 5 Februari 2004).
Pemahaman perilaku politik (Political Behavior) yaitu perilaku politik dapat dinyatakan sebagai keseluruan tingkah laku aktor poltik dan warga negara yang telah saling memiliki hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga-lembaga pemerintah, dan antara kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik. Sedangkan menurut Almond dan Verba yang dimaksud budaya politik (Political Culture) merupakan suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sitem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Warga negara senantiasa mengidentifikasi diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki (Budiyanto, 2004: 103).

C. Pendidikan Demokrasi di Lingkup Sekolah
Pendidikan Demokrasi adalah esensinya Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). PKN itu sendiri bagian dari Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS). PIPS memiliki tiga tradisi seperti dikatakan oleh Barr, Barth dan Shermis (1937) dalam Somantri (2001:81) “The three social studies traditions yaitu: (a) Social Studies as Citizenship Transmission (Civic Education), (b) Social Studies as Social Science, (c) Social Studies as Reflective Inquiry”. Kaitan dengan tradisi pertama yaitu “social studies as citizenship transmission”, menunjukkan bahwa PIPS sebagai Citizenship Education atau Civic Education atau Pendidikan Kewarganegaraan (Kewarganegaraan). Kewarganegaraan sebagai wahana utama dan esensi dari pendidikan demokrasi (CICED, 1999). Dengan kata lain bahwa pendidikan demokrasi sebagai muatannya, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai kendaraannya, sedangkan PIPS sebagai jembatan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang bertujuan pendidikan. Kaitannya dengan tradisi kedua “social studies as social science” atau PIPS sebagai ilmu-ilmu sosial. Secara logika pendidikan demokrasi itu sendiri merupakan turunan dari Ilmu Politik yang berada pada rumpun ilmu-ilmu sosial. Artinya Kewarganegaraan merupakan pendidikan politik yang bertujuan pendidikan yang ditopang oleh ilmu-ilmu sosial secara interdisipliner, walaupun terjadi tarik menarik antara PIPS perlu diajarkan secara terpadu dan secara terpisah. Akhirnya muncul PIPS diajarkan di Sekolah Dasar secara Terpadu, di SMTP secara terkorelasi dan SMTA secara terpisah. Kaitan dengan tradisi ketiga “social studies as reflective inquiry” bahwa social studies cenderung untuk melatih keterampilan “reflective thinking” (Barr dkk, 1977:37).
Diperkuat oleh Shirley Engle pada tahun 1960 menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Decision Making: The Heart of Social Studies Instruction”. Yang secara tegas dan merefleksikan gagasan John Dewey tentang pendidikan berpikir kritis.Dengan kata lain pembelajaran demokrasi di lingkup sekolah dapat: meningkatkan kemampuan siswa menganalisis isu-isu demokrasi yang muncul di masyarakat, menambah kemampuan nalar siswa dalam pengetahuan kemasyarakatan (sicio-scientific reasoning), mengembangkan keterampilan berpikir (higher-order thinking skill), termasuk memecahkan masalah, mengambil keputusan, membuat/menganalisis dan kritis, mengembangkan kesadaran peran siswa dalam proses dari perubahan demokrasi, membantu siswa mengakui kompleksnya dari membuat keputusan masalah demokrasi, menyediakan kesempatan siswa untuk menguji kemungkinan dampak demokrasi bagi kehidupan dan perubahan masyarakat.
D. School-Based Democracy Education Model
Pendidikan demokrasi yang baik adalah bagian dari pendidikan yang baik secara umum. Berkenan dengan hal tersebut disarankan Gandal dan Finn (Saripudin, 2001) perlu dikembangkan model sekolah berbasis pendidikan demokrasi. terdapat 4 (empat) alternatif bentuk dari model ini.
1. Perhatian yang cermat diberikan pada landasan dan bentuk-bentuk demokrasi
2. Adanya kurikulum yang dapat memfasilitasi siswa untuk mengeksplorasi bagaimana ide demokrasi telah diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk kelembagaan dan praktik di berbagai belahan bumi dalam berbagai kurun waktu. Dengan demikian siswa akan mengetahui dan memahami kekuatan dan kelemahan demokrasi dalam berbagai konteks ruang dan waktu.
3. Adanya kurikulum yang memungkinkan siswa dapat mengeksplorasi sejarah demokrasi di negaranya untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya dalam berbagai kurun waktu.
4. Tersedianya kesempatan bagi siswa untuk memahami kondisi demokrasi yang diterapkan di negara-negara di dunia, sehingga para siswa memiliki wawasan yang luas tentang aneka ragam sistem sosial demokrasi dalam berbagai konteks.
Selain dari uraian tersebut di atas agar dapat diupayakan dalam bentuk kegiatan ekstra kurikuler yang bernuansa demokrasi serta membudayakan budaya demokratis dan menjadikan sekolah sebagai budaya lingkungan yang demokratis serta perlunya keterlibatan/penglibatan siswa dalam kegiatan masyarakat. Sanusi (Saripudin.U., 2001) juga mengemukakan perlu dikembangkannya pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional yang memungkinkan para siswa dapat mengembangkan dan menggunakan seluruh potensinya sebagai individu dan warga negara dalam masyarakat bangsa-bangsa yang demokratis.
Lebih lanjut dikatakan bahwa salah materi Pendidikan kewarganegaraan dalam paradigma barunya yaitu mengebangkan pendidikan demokrasi mengemban tiga fungsi pokok, yakni mengembangkan kecerdasan warganegara (civics intelligence), membina tanggung jawab warganegara (civics responbility) dan mendorong partisipasi warganegara (civic participation). Kecerdasan warganegara yang dikembangkan untuk membentuk warganegara yang baik bukan hanya dalam dimensi rasional melainkan juga dalam dimensi spiritual, emosional dan sosial sehingga paradigma baru pendidikan kewaganegaraan bercirikan multidimensional.

E. Karakteristik Tata Aturan Pilkada Daerah Penelitian
Pilkada, meskipun di dalam undang-undang 32 tahun 2004 yang terdapat dalam pasal 56-119 tidak memberikan definisi yang tegas tentang pilkada, tetapi menurut hemat penulis definisi pilkada dapat kita definisikan, bahwa pilkada adalah singkatan dari pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Gubernur dan Wakilnya di tingkat provinsi dan Bupati/Walikota dan Wakilnya ditingkat kab/kota), pilkada dapat juga diartikan sebagai proses pergantian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang secarah sah diakui hukum, serta momentum bagi rakyat untuk secara langsung menentukan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan aspirasi/keinginan rakyat. Dalam hal ini pilkada, meskipun salah satu produk negara yang berlandaskan hukum (Recht Staat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat) namun bukan berarti pilkada merupakan parameter yang mutlak dalam rangka memberikan suatu penilaian apakah momentum pilkada benar-benar demokratis, disisi lain pilkada merupakan demokrasi yang prosedural dan belum menyentuh asas demokrasi yang substansial, yakni lahirnya kualitas kepemimpinan yang bersih, jujur, dan lain sebagainya.
Keterlibatan masyarakat dalam momentum pilkada langsung menjadi landasan dasar bagi bangunan demokrasi. Bangunan demokrasi tidak akan kokoh manakala kualitas partisipasi masyarakat diabaikan. Karena itu, proses demokratisasi yang sejatinya menegakkan kedaulatan rakyat menjadi semu dan hanya menjadi ajang rekayasa bagi mesin-mesin politik tertentu. Format demokrasi pada aras lokal (pilkada) meniscayakan adanya kadar dan derajat kualitas partisipasi masyarakat yang baik. Apabila demokrasi yang totalitas bermetamorfosis menjadi kongkrit dan nyata, atau semakin besar dan baik kualitas partisipasi masyarakat, maka kelangsungan demokrasi akan semakin baik pula. Demikian juga sebaliknya, semakin kecil dan rendahnya kualitas partisipasi masyarakat maka semakin rendah kadar dan kualitas demokrasi tersebut.
Pentingnya pendidikan demokrasi memungkinkan setiap warga negara dapat belajar demokrasi melalui praktek kehidupan yang demokratis, dan untuk membangun tatanan dan praksis kehidupan demokrasi yang lebih baik di masa mendatang (Saripudin, 2001). Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan pemerintah daerah sejak tahun 1945 mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan dimaksudkan untuk mencari bentuk yang dapat mencerminkan aspirasi masyarakat dan hingga sejak reformasi lahirlah UUNo. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan tidak lama kemudian disempurnakan lagi oleh UU No. 3 Tahun 2004. Dari dua perubahan terakhir mengalami perubahan yang cukup mendasar dibandingkan dengan peraturan perundangan pemerintahan daerah sebelumnya. Mencermati berbagai perubahan dan penyempurnaan perundang-undangan pemerintahan yang pernah terjadi, jika belum sesuai dengan aspirasi masyarakat, maka yang perlu dipertanyakan kemudian mungkin sistem perundang-undangan ataukah memang munkin dari tingkat kesadaran masyarakat sebagian beum memahaminya. Berikut disesebutkan “Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil” Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang kemudaian diatur pendukung peraturan perundangan lain seperti Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 & Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2005 tentang Pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.










BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Definisi Konsepsional
Definisi konsepsional merupakan pembatasan pengertian tentang hal-hal yang perlu diamati. Sedangkan pengertian konsep itu sendiri adalah suatu pemikiran umum mengenai suatu masalah atau persoalan (Koentjaraningrat, 1980). Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan pembatasan terhadap variabel-variabel penelitian untuk menentukan indikator-indikator yang akan diteliti.
Dengan demikian definisi konsepsional pada Tingkat Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada adalah suatu sikap yang ditentukan adanya kepedulian terhadap budaya berpolitik yang baik dengan mengikutsertakan secara aktif dalam memaknai pembelajaran berpolitik dan memanfaatkannya dengan sikap pengendalian diri melalui pengembangan pengalaman yang didapatkannya untuk bekal bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

B. Definisi Operasional
Menurut Koentjaraningrat (1980), definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberikan pengertian tentang cara mengubah konsep-konsep yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku gejala yang dapat diamati dan dapat diuji serta ditentukan kebenarannya oleh orang lain.
Dengan demikian variabel dalam penelitian ini mencakup kesadaran politik dan pemaham siswa sebagai pemilih pemula dalam Pilkada. Sedangkan instrumen dikembangkan berdasarkan indikator sebagai berikut:
1. Sikap dan perilaku yang saling peduli, yaitu: Suatu nilai dari perbuatan yang timbal balik untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan.
2. Partisipasi aktif, yaitu: perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha.
3. Kebermanfaatan yang diperoleh, yaitu: sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai.
4. Akses dan kontrol sosial, yaitu: pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat.
5. Dampak yang didapat dari pengalaman, yaitu: pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya.

C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SLTA di daerah penelitian Bandung dan Bekasi (Jawa Barat) serta Pamulang (Tangerang-Banten), dengan mengambil sampel tiap daerah 3 sekolah. Pengambilan sampel dilakukan melalui rancangan sampling menurut katagori sampel acak sederhana. Jumlah siswa yang terkait dengan penelitian sebanyak 75 siswa, dimana mereka telah mengikuti kegiatan pilkada pada masa pemilihan/pencoblosan sebagai pemilih pemula dalam pilkada di daerahnya masing-masing. Untuk guru sebagai sampel sebanyak 27 orang dari 3 daerah ujicoba. Data kuesioner dari siswa yang dapat diidentifikasi dengan baik sebanyak 48 responden. Sedangkan alasan pengambilan daerah penelitian yaitu Banten dan Jawa Barat dikarenakan daerah tersebut telah menyelenggarakan pilkada dengan karakteristik sebagai daerah kompleksitas pemilih pemula yang potensial.

D. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data sebagai bahan dalam penelitian ini, akan dipergunakan beberapa teknik pengumpulan data, antara lain:
a. Library Research, yaitu suatu penelitian dengan cara mempelajari dan mengumpulkan berbagai bahan bacaan atau literatur, dokumen serta media massa yang ada hubungannya dengan penulisan penelitian.
b. Field Work Research, yaitu mengumpulkan data dari penelitian yang dilakukan secara langsung di lapangan. Untuk mempermudah penelitian di lapangan, perlu ditentukan teknik pengumpulan data agar yang dihimpun dapat efektif dan efisien. Teknik yang dilakukan menggunakan metode sebagai berikut:

1. Interview
Menurut Hadi (1990) berpendapat bahwa: interview adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara sepihak, yang dikerjakan dengan sistematis, logis, metodologis dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Adapun bentuk wawancara yang dipergunakan dalam penelitian berpedoman pada kuesioner yang berstruktur atau tertutup yang memuat pertanyaan secara cermat dan terperinci dengan pilihan jawaban yang telah disediakan.
2. Observasi
Menurut Winarno Surakhmat (1990) observasi adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan terhadap gejala yang diteliti yang dilaksanakan dalam situasi yang khusus. Observasi dalam penelitian ini adalah peneliti dengan seksama mengamati langsung terhadap obyek dan sasaran penelitian yaitu aktualisasi kesadaran siswa sebagai pemilih pemula dalam pembelajaran politk di kegiatan Pilkada.
3. Dokumentasi
Menurut Suharsimi (1993) dokumentasi adalah mencari data mengenai sesuatu hal atau variabel yang berasal dari pihak lain berupa catatan, buku, surat kabar.

E. Metode Analisis Data
Teknik analisa data yang akan digunakan dalam penelitian adalah dengan menghitung Standar Deviasi.








BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan disampaikan data-data hasil penelitian lapangan tentang Kesadaran Politik Pemilih Pemula dalam Pilkada; Suatu Refleksi School-Based Democracy Education, melalui nilai sikap dan perilaku yang saling peduli, partisipasi aktif, kebermanfaatan yang diperoleh, akses kontrol sosial, dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam Pilkada, dan gambaran hasil kegiatan pembelajaran sosiologi di sekolah.
Indikator-indikator dijabarkan secara rinci berdasarkan konsep teori dan diukur menggunakan instrumen skala Likert dengan 5 skala pernyataan yaitu, skala 1 untuk menyatakan sangat tidak setuju, skala 2 tidak setuju, skala 3 cukup setuju, skala 4 setuju dan skala 5 sangat setuju. Adapun pernyataan-pernyataan yang dikembangkan berdasarkan indikator sebagai berikut.
1. Nilai sikap dan perilaku yang saling peduli (Suatu nilai dari perbuatan yang timbal balik untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan) diukur menggunakan pernyataan-pernyataan seperti: “saya senang terdaftar sebagai pemilih pemula dalam Pilkada”, “memang sebaiknya seusia saya sudah diwajibkan untuk ikut berpolitik”, “ikut berpolitik tidak hanya sebagai pemilih pemula dalam Pilkada”, “ikut Pilkada hanya sebagai keisengan saja”, “karena teman yang lain tidak ada yang jadi pemilih sehingga saya juga tidak memilih, pada saat Pilkada”, “saya dan kelompok teman bermain sedang ada kegiatan lain sehingga lebih baik tidak memilih”, “saya disuruh datang ke TPS untuk menyoblos padahal saya belum berpengalaman”, “saya berusaha mengajak teman yang lain yang sudah terdaftar sebagai pemilih untuk ikut jadi pemilih pemula di Pilkada”, “program pemda/KPU tidak sesuai dengan aspirasi saya, sehingga saya malas ikut Pilkada”, “kriteria calon pilkada tidak ada yang sesuai dengan keinginan saya”, “saya melakukan pencoblosan untuk Pilkada karena saya ingin jadi warga yang baik”. Indikator nilai sikap dan perilaku yang saling peduli (Suatu nilai dari perbuatan yang timbal balik untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan) mempunyai tingkat reliabilitas = 0,76.
2. Partisipasi aktif (perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha) diukur menggunakan pernyataan-pernyataan seperti: “sebagai generasi muda saya dukung kegiatan politik”, “saya akan memilih salah satu calon di Pilkada dengan ikut kampanye”, “saya selalu mencari informasi di media untuk mengetahui perkembangan Pilkada”, “di setiap waktu saya suka membicarakan tentang Pilkada dengan teman lain”, “saya menyebarluaskan berita tentang Pilkada kepada orang lain”, “supaya orang lain menjadi mengerti sehingga saya suka berdiskusi dengan para guru mengenai Pilkada”. Indikator partisipasi aktif (perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha) mempunyai tingkat reliabilitas = 0,64.
3. Kebermanfaatan yang diperoleh (sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai) diukur menggunakan pernyataan-pernyataan seperti: “saya ikut memilih dalam Pilkada supaya mengerti berpolitik”, “sebagai pemilih di Pilkada tidak ada untungnya”, “tujuan saya ikut memilih Pilkada karena memang disuruh oleh guru di sekolah”, “ikut Pilkada sebagai bagian dari pembelajaran di sekolah”, “saya merasa jadi warga yang baik setelah ikut pemilihan dalam Pilkada”, “belajar di sekolah tentang berpolitik sebatas teori sedangkan prakteknya saya ikut Pilkada”, “lebih baik belajar berpolitik dilakukan sesaat saja”. Indikator kebermanfaatan yang diperoleh (sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai) mempunyai tingkat reliabilitas = 0,74.
4. Akses kontrol sosial (pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat) diukur menggunakan pernyataan-pernyataan seperti: “saya adalah bagian dari masyarakat”, “jika terdapat penyimpangan berpolitik dalam masyarakat saya cuek saja”, “saya selalu ikut-ikutan dalam kegiatan masyarakat”, “lebih baik berdiam diri, saat ada keributan mengenai Pilkada”, “saya akan berusaha mencari informasi tentang calon Pilkada yang pantas saya pilih”, “membantu kegiatan seputar Pilkada, jika diperlukan”, “sebaiknya sebagai pelajar kita wajib menyukseskan Pilkada”. Indikator akses kontrol sosial (pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat ) mempunyai tingkat reliabilitas = 0,67.
5. Dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam Pilkada (pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya) diukur menggunakan pernyataan-pernyataan seperti: “saya tidak berminat ikut-ikutan dalam pemilihan Pilkada”, “setelah ikut Pilkada saya tidak merasa mendapatkan pembelajaran politik”, “ikut Pilkada biasa-biasa saja”, “saya jadi bertambah paham tentang berpolitik setelah ikut Pilkada”, “saya akan ajak teman untuk ikut Pilkada karena berguna untuk masa depan”, “lebih baik belajar politik di sekolah saja seperti dalam pemilihan ketua kelas”, “saya jadi ragu apakah aspirasi saya untuk memilih dapat direalisasikan oleh pemenang Pilkada”. Indikator dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam Pilkada (pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya) mempunyai tingkat reliabilitas = 0,83.

Deskripsi Responden
Responden adalah siswa SLTA yang telah melakukan kegiatan pencoblosan untuk memilih kepala daerah dalam hal ini pilkada gurbernur provinsi Banten pada tahun 2006 dan Jawa Barat pada tahun 2008. Dari 75 siswa yang dimintai pengisian kuesioner, sebanyak 48 responden dijaring dan memberikan pernyataannya secara terstruktur dengan baik, selain interview/wawancara seputar fenomena pilkada. Sementara itu untuk mendukung data, dilakukan observasi terhadap kegiatan program School-Based Democracy Education pada guru, siswa, dan kepala sekolah. Jumlah guru yang terlibat sebanyak 7 orang sedangkan siswa terbagi dalam, siswa pria sebanyak 42 orang dan siswa wanita sebanyak 33 orang.

Refleksi School-Based Democracy Education
Kegiatan ini melibatkan guru, siswa dan kepala sekolah. Indikator yang digunakan adalah mengidentifikasi mekanisme perubahan sosial budaya, seperti pembangunan masyarakat di sektor politik. Program diarahkan pada pendekatan School-Based Democracy Education, yaitu siswa ditugaskan untuk terlibat secara langsung dalam menggali konsep berpolitik di lapangan dan mendiskusikan dalam kelas. Dari hasil wawancara dengan pihak guru dan siswa dihasilkan:
1. Program School-Based Democracy Education lebih bermakna jika melibatkan siswa sebagai subyek dan obyek dalam kegiatan pilkada.
2. Beberapa temuan dilapangan seputar kasus pilkada dapat dijadikan bahan diskusi yang teridentifikasi secara menyeluruh.
3. Simulasi sangat penting dalam rangka pemahaman teknis dalam pilkada, terutama bagi siswa yang baru sebagai pemilih pemula.
4. Daya kritis siswa terhadap karakter calon kepala daerah menjadi pola pikir yang dapat dijadikan pertimbangan dalam memilih. Sebagaian besar dari hasil wawancara ini siswa lebih mencermati pandangan visi dan misi calon kepala daerah yang banyak dipampangkan dalam bentuk poster, spanduk, dan baliho.
5. Sebagai pemilih pragmatik mencerminkan bahwa pandangan siswa terhadap fenomena tersebut terbagi kedalam kelompok pendukung dan menolak, yang intinya bahwa melalui pembelajaran politik di sekolah pemahaman mereka terhadap politik praktis menjadi konsep yaitu berpolitik bagi mereka adalah pengakuan jati diri dengan kebebasan untuk menentukan diri sendiri.
Selain itu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran demokrasi juga melibatkan pada unsur pelajaran sosiologi. Intinya pelajaran ini diterapkan dengan pendekatan pembelajaran aktif yang dikombinasikan dengan konsep lingkungan meluas atau expanding environment approach. Dengan model pembelajaran konstruktivisme tersebut didapatkan fungsi guru, siswa dan sarana belajar secara sinergi, dengan memperhatikan:
(1) keseimbangan antara kognisi, keterampilan, afektif dan keseimbangan antara deduktif dan induktif,
(2) penyajian materi menggunakan ilustrasi dan pemberian tugas secara aktif,
(3) proses pembelajaran dilakukan dengan upaya memfasilitasi tumbuhnya dinamika kelompok di dalam kelas, sehingga terwujud siswa yang mandiri dalam belajar.
Sesuai dengan karakteristik mata pelajaran sosiologi, strategi pembelajaran yang diharapkan adalah pembelajaran yang terpusat pada siswa dengan pendekatan belajar aktif, yaitu siswa menjadi pusat kegiatan belajar mengajar. Siswa dirangsang untuk bertanya dan mencari pemecahan masalah serta didorong untuk menafsirkan informasi yang diberikan oleh guru, sampai informasi tersebut dapat diterima oleh akal sehat.
Peta hasil belajar rumpun pembelajaran demokrasi yang dapat dikembangkan untuk nilai-nilai demokrasi, meliputi:

Deskripsi Hasil Analisis Indikator:
1. Nilai sikap dan perilaku yang saling peduli.
Nilai-nilai memainkan peranan penting di dalam kehidupan masyarakat. Terjadinya hubungan-hubungan sosial didasarkan bukan saja pada fakta-fakta positif, akan tetapi juga pertimbangan-pertimbangan nilai negatif (Duverger, 1982). Karena nilai-nilai mencerminkan suatu kualitas preferensi dalam tindakan. Nilai sikap dan perilaku yang saling peduli dibedakan dalam lima pernyataan yang terdiri dari sangat setuju, setuju, cukup setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Dalam pernyataan “saya senang terdaftar sebagai pemilih pemula dalam Pilkada” menunjukkan bahwa 60 persen setuju atau 29 responden dari 48 yang menyatakan sangat senang terdaftar sebagai pemilih pemula. Selanjutnya dalam pernyataan: “sebaiknya seusia saya sudah diwajibkan untuk ikut berpolitik” menunjukkan bahwa 60 persen setuju atau 29 responden dari 48 yang menyatakan sebaiknya seusia saya sudah diwajibkan untuk ikut berpolitik. Sedangkan 10 persen menyatakan tidak setuju.
Berikutnya dalam pernyataan: “ikut berpolitik tidak hanya sebagai pemilih pemula dalam Pilkada” menunjukkan bahwa 48 persen setuju atau 23 responden dari 48 yang menyatakan sebaiknya ikut berpolitik tidak hanya sebagai pemilih pemula dalam Pilkada.
Dalam pernyataan: “ikut Pilkada hanya sebagai keisengan saja” menunjukkan bahwa 73 persen tidak setuju atau 35 responden dari 48 yang menyatakan “ikut Pilkada hanya sebagai keisengan saja” dan hanya 8 persen yang setuju.
Dalam pernyataan: “ikut Pilkada hanya sebagai keisengan saja” menunjukkan bahwa 73 persen tidak setuju atau 35 responden dari 48 yang menyatakan “ikut Pilkada hanya sebagai keisengan saja” dan hanya 8 persen yang setuju.
Berikut pernyataan: “karena teman yang lain tidak ada yang jadi pemilih sehingga saya juga tidak memilih, menunjukkan bahwa 67 persen tidak setuju atau 32 responden dari 48 yang menyatakan tersebut.
Selanjutnya pernyataan: pada saat Pilkada”, “saya dan kelompok teman bermain sedang ada kegiatan lain sehingga lebih baik tidak memilih”, menunjukkan bahwa 62 persen tidak setuju atau 30 responden dari 48 yang menyatakan tersebut.
Dalam pernyataan: “saya disuruh datang ke TPS untuk menyoblos padahal saya belum berpengalaman”, menunjukkan bahwa 46 persen setuju atau 22 responden dari 48 yang menyatakan tersebut. Sedangkan 25 persen yang tidak setuju.
Pernyataan: “saya berusaha mengajak teman yang lain yang sudah terdaftar sebagai pemilih untuk ikut jadi pemilih pemula di Pilkada”, menunjukkan bahwa 58 persen setuju atau 28 responden dari 48 yang menyatakan tersebut.
Selanjutnya pernyataan: “program pemda/KPU tidak sesuai dengan aspirasi saya, sehingga saya malas ikut Pilkada”, menunjukkan bahwa 44 persen tidak setuju atau 21 responden dari 48 yang menyatakan tersebut. Sedangkan yang setuju sebanyak 33 persen.
Selanjuntnya pernyataan: “kriteria calon pilkada tidak ada yang sesuai dengan keinginan saya”, menunjukkan bahwa 42 persen tidak setuju atau 20 responden dari 48 yang menyatakan tersebut. Namun yang setuju sebanyak 54 persen atau 26 responden, dimana pernyataan cukup setuju dan setuju seimbang.
Berikut pernyataan: “saya melakukan pencoblosan untuk Pilkada karena saya ingin jadi warga yang baik”. menunjukkan bahwa 52 persen setuju atau 25 responden dari 48 yang menyatakan tersebut. Namun berdasarkan data, secara umum responden menyatakan setuju.
2. Partisipasi aktif yaitu perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha
Menggambarkan data sebagai berikut: pernyataan “sebagai generasi muda saya dukung kegiatan politik”, menunjukkan 52 persen setuju atau 25 responden yang menyatakan tersebut. “saya akan memilih salah satu calon di Pilkada dengan ikut kampanye”, menunjukkan 50 persen cukup setuju atau 24 responden yang menyatakan tersebut. “saya selalu mencari informasi di media untuk mengetahui perkembangan Pilkada”, menunjukkan 40 persen cukup setuju atau 19 responden yang menyatakan tersebut. “di setiap waktu saya suka membicarakan tentang Pilkada dengan teman lain”, menunjukkan 42 persen cukup setuju dan tidak setuju atau masing-masing 25 responden yang menyatakan tersebut. “saya menyebarluaskan berita tentang Pilkada kepada orang lain”, menunjukkan 56 persen setuju atau 27 responden yang menyatakan tersebut. “supaya orang lain menjadi mengerti sehingga saya suka berdiskusi dengan para guru mengenai Pilkada”. menunjukkan hampir seimbang yaitu 50 persen tidak setuju dan 46 persen setuju.
3. Kebermanfaatan yang diperoleh yaitu sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai
Menggambarkan pernyataan: “saya ikut memilih dalam Pilkada supaya mengerti berpolitik”, menunjukkan 48 persen setuju atau 23 responden yang menyatakan tersebut. “sebagai pemilih di Pilkada tidak ada untungnya”, menunjukkan 50 persen tidak setuju atau 24 responden yang menyatakan tersebut dan 23 persen setuju atau 11 responden menyatakan hal yang sama. “tujuan saya ikut memilih Pilkada karena memang disuruh oleh guru di sekolah”, menunjukkan 54 persen tidak setuju atau 26 responden yang menyatakan tersebut. “ikut Pilkada sebagai bagian dari pembelajaran di sekolah”, menunjukkan 44 persen setuju atau 21 responden yang menyatakan tersebut. “saya merasa jadi warga yang baik setelah ikut pemilihan dalam Pilkada”, menunjukkan 56 persen setuju atau 27 responden yang menyatakan tersebut. “belajar di sekolah tentang berpolitik sebatas teori sedangkan prakteknya saya ikut Pilkada”, menunjukkan 50 persen setuju atau 24 responden yang menyatakan tersebut. “lebih baik belajar berpolitik dilakukan sesaat saja”. menunjukkan 50 persen tidak setuju atau 24 responden yang menyatakan tersebut. Namun 46 responden menyatakan setuju dan cukup setuju.
4. Akses kontrol sosial yaitu pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat
Digambarkan dengan pernyataan: “saya adalah bagian dari masyarakat”, menunjukkan 70 persen setuju atau 34 responden yang menyatakan tersebut. “jika terdapat penyimpangan berpolitik dalam masyarakat saya cuek saja”, menunjukkan masing-masing seimbang yaitu 35 persen setuju dan tidak setuju atau 15 responden yang menyatakan tersebut. “saya selalu ikut-ikutan dalam kegiatan masyarakat”, menunjukkan 42 persen tidak setuju atau 20 responden yang menyatakan tersebut. “lebih baik berdiam diri, saat ada keributan mengenai Pilkada”, menunjukkan 29 persen tidak setuju atau 14 responden yang menyatakan tersebut. Namun 31 persen responden setuju. “saya akan berusaha mencari informasi tentang calon Pilkada yang pantas saya pilih”, menunjukkan 54 persen setuju atau 26 responden yang menyatakan tersebut. “membantu kegiatan seputar Pilkada, jika diperlukan”, menunjukkan 84 persen setuju dan cukup setuju atau 40 responden yang menyatakan tersebut. “sebaiknya sebagai pelajar kita wajib menyukseskan Pilkada”. menunjukkan 90 persen setuju dan cukup setuju atau 43 responden yang menyatakan tersebut.
5. Dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam Pilkada
Yaitu pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya, menggambarkan data pernyataan: “saya tidak berminat ikut-ikutan dalam pemilihan Pilkada”, menunjukkan 44 persen tidak setuju atau 21 responden yang menyatakan tersebut. “setelah ikut Pilkada saya tidak merasa mendapatkan pembelajaran politik”, menunjukkan 38 persen setuju atau 18 responden yang menyatakan tersebut. “ikut Pilkada biasa-biasa saja”, menunjukkan 40 persen setuju atau 19 responden yang menyatakan tersebut. “saya jadi bertambah paham tentang berpolitik setelah ikut Pilkada”, menunjukkan 44 persen setuju atau 21 responden yang menyatakan tersebut. “saya akan ajak teman untuk ikut Pilkada karena berguna untuk masa depan”, menunjukkan 40 persen setuju atau 19 responden yang menyatakan tersebut. “lebih baik belajar politik di sekolah saja seperti dalam pemilihan ketua kelas”, menunjukkan 38 persen tidak setuju atau 18 responden yang menyatakan tersebut. “saya jadi ragu apakah aspirasi saya untuk memilih dapat direalisasikan oleh pemenang Pilkada”. menunjukkan 33 persen tidak setuju atau 16 responden yang menyatakan tersebut. Namun 31 persen menyatakan setuju.

B. Pembahasan
Dalam pembahasan konsep tingkat kesadaran pemilih pemula dalam pilkada digunakan indikator yang tergambarkan dalam bentuk item-item pernyataan sikap, yaitu pilihan jawaban responden terhadap item-item pertanyaan yang ada pada kuesioner, yang merupakan pernyataan dengan katagori sangat setuju, setuju, cukup setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Apabila responden memberikan persetujuan dengan konsisten dan betul-betul atas dasar pemahamn isi pernyataan, maka responden yang mempunyai tingkat kesadaran baik akan dengan konsisten menyetujui pernyataan-pernyataan yang bernilai skala besar. Sebaliknya, responden yang tidak mempunyai kesadaran baik akan secara konsisten menyetujui pernyataan-pernyataan yang mempunyai nilai skala kecil. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa pandangan positif dan bernilai skala besar, jika setuju dengan konsep sebagai pemilih pemula di pilkada, sebaliknya pandangan negatif dan bernilai skala kecil jika tidak setuju dengan konsep sebagai pemilih pemula dalam pilkada.







BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai tingkat kesadaran politik pemilih pemula dalam pilkada: sebagai refleksi School-Based Democracy Education, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Tingkat kesadaran siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada menunjukkan perbedaan yang beragam didasarkan pada pemahaman dan pengalaman belajar konsep berpolitik di tingkat persekolahan. Pada umumnya pengalaman tersebut didapat sebatas dalam pemilihan ketua OSIS atau ketua kelas dan pemilihan lainnya.
2. Dari hasil penjabaran indikator yang dikembangkan menghasilkan indikasi bahwa hampir 60 persen siswa senang terdaftar sebagai pemilih pemula dalam Pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran ikut aktif berpolitik telah menjadi kekuatan individu siswa dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Pentingnya kesadaran berpolitik bagi siswa dapat dijelaskan dengan: nilai sikap dan perilaku yang saling peduli yaitu suatu nilai dari perbuatan yang timbal balik untuk dapat memperhatikan/menghiraukan sesuatu/lingkungan. Rata-rata pernyataan sikap siswa diatas 60 persen berpandangan positif. Sedangkan Partisipasi aktif yaitu perihal turut berperan serta di suatu kegiatan secara giat/berusaha. Rata-rata pernyataan sikap siswa 56 persen mendukung. Adapun mengenai kebermanfaatan yang diperoleh yaitu sesuatu hal/keadaan yang berguna untuk dicapai, rata-rata pernyataan sikap siswa 48 persen menyatakan positif. Mengenai Akses kontrol sosial yaitu pencapaian pengendalian berkenaan dengan masyarakat, rata-rata pernyataan sikap siswa 62 persen memberikan kontribusi baik, dan berdasarkan dampak yang didapat dari pengalaman sebagai pemilih pemula dalam Pilkada yaitu pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif atau positif dari pengalaman yang telah didapatkannya, rata-rata pernyataan sikap siswa 40 persen berpengaruh terhadap pola pikirnya.
4. Faktor-faktor yang menonjol dari tingkat kesadaran politik siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada dapat ditemukan dalam daya kritis siswa seputar pemahaman makna berpolitik di diskusi kelas, yaitu siswa bebas berekspresi, berpendapat dan menggagas permasalahan secara lugas dalam bahasa sendiri.

B. Saran
1. Perlu diberikan sosialisasi kesadaran berpolitik bagi siswa sebagai pemilih pemula dalam pilkada dilingkup persekolahan, pemda setempat, dan LSM terkait.
2. Perlu mengembangkan hasil penelitian dengan melakukan penelitian lanjutan yang lebih luas dan sistematis, sehingga diperoleh manfaat yang lebih optimal
3. Peran komponen sekolah, yaitu siswa, guru, dan komite sekolah terhadap pendidikan demokrasi sebagai aplikasi dari School-Based Democracy Education lebih disenergikan.
4. Pengadaan suatu Civic Learning Center yang dapat digunakan siswa untuk belajar dan berbagi pengalaman seputar budaya politik dan berdiskusi tentang makna demokrasi sehingga pemahaman mengenai berpolitik menjadi lebih proporsional dan bermakna menjadi fokus keberadaannya. Di tempat ini akan dijumpai beberapa kegiatan seperti kegitan eskul lainnya dan zone online serta melibatkan siswa pada observasi-observasi lapangan seputar masalah pilkada.







DAFTAR PUSTAKA

Arfani, Riza Noer (1996). Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Bambang (2004)."Menggagas Partisipasi Aktif Guru dalam Peta Politik Indonesia" di Bandung dalam seminar).
Budiardjo Miriam. (1982). Masalah Kenegaraan, Jakarta: PT Gramedia.
Budiyanto. (2002). Kewarganegaraan SMA Kurikulum 2004, Jakarta : Penerbit Erlangga
Hadi Sutrisno(1990). Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.
Koentjaraningrat (1980). Metode Penelitian Sosial. Jakarta: PT Gramedia.
Panggabean (1994). Pendidikan Politik dan Kaderisasi Bangsa. Sinar Harapan, Jakarta.
Polma M. Margaret. (1987). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali
Prijono Onny (1987). Kebudayaan Remaja dan Sub-Kebudayaan Delinkuen. CSIS, Jakarta.
Rush, Michael dan Althoff, Philip (1990). Pengantar Sosiologi Politik. Rajawali Pers, Jakarta.
Saripudin U. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi (Disertasi). UPI: Program Pascasarjana.
Saripudin U. Dkk. (2003). Materi dan Pembelajaran PKn SD, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta
Suharsimi A. (1993). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Surakhmad, Winarno (1980) Dasar-dasar Research Pengantar Ilmiah, Bandung: CV Tarsito.
Umberto Sihombing. (2002). Menuju Pendidikan Bermakna melalui Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: CV Multiguna.
Undang-Undang. (2005). Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan PERPU Nomor 3 Tahun 2005 Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Jakarta : Penerbit Forum Indonesia Maju (Himpunan Anggota DPR-RI 1999-2004).

Rabu, 03 Juni 2009

MAKALAH SURAT - SURAT BERHARGA

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya dan ridlo-Nyalah penyusunan Makalah ini dapat kami selesaikan.

Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan banyak rahmat-Nya pada penyusun, tetapi penyusun terkadang lupa untuk mensyukuri rahmat dan nikmat tersebut. (Nikmat Tuhan mana yang manusia bisa dustakan).

Banyak tantangan yang dihadapi penyusun dalam menyusun makalah ini. Akan tetapi, berkat dukungan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini terselesaikan. telah banyak sekali pihak-pihak yang secara disadari maupun tidak disadari,langsung atau tidak langsung telah di buat repot dalam membantu penyusun pembuatan makalah ini.

Walaupun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, besar harapan penyusun agar makalah ini dapat berguna dalam menjadi bahan bacaan. Sesungguhnya yang benar hanya dari Allah SWT semata dan yang salah dari kelemahan penyusun.

Wabillahi Taufiq Wal Hidayah.

Pandeglang, Juni 2009,

Penyusun,

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................. ii

BAB I .............................................................................................................. 1

Ulasan 60 Persen Lulusan PT. Menganggur................................... 2

Membaca Tapi tak Memperoleh Manfaat....................................... 3

Ulasan Membaca Tapi tak Memperoleh Manfaat.......................... 4

Pudarnya Pesona Bahasa Indonesia................................................. 5

Ulasan Pudarnya Pesona Bahasa Indonesia................................... 7

Benarkah Minat Baca Kita Rendah................................................... 8

Ulasan Benarkah Minat Baca Kita Rendah..................................... 10

Bahasa Ibu Milik Siapa...................................................................... 11

Ulasan Bahasa Ibu Milik Siapa......................................................... 13

BAB I

PENDAHULUAN

Memasuki abad keduapuluh, akselarasi pertumbuhan ekonomi yang cenderung menjadi global, dan kemajuan ilmu serta teknologi melahirkan kebutuhan baru pula dalam transaksi serta interaraksi baik jasa maupun benda.

Keadaan ini menyebabkan banyak transaksi serta interaksi yang dilakukan oleh masyarakat tidak atau belum diatur oleh hukum dan tidak diketahui oleh masyarakat luas kecuali oleh masyarakat yang melakukan transaksi itu sendiri.

Sebagai contoh dalam dunia penerbangan internasional kita jumpai Misscellaneus Cherges Order disingkat MCO yang memudahkan transaksi-transaksi dalam dunia penerbangan internasional.

MCO adalah satu bentuk document yang dikeluarkan oleh perusahaan maskapai penerbangan yang beroperasi secara internasional. Fungsinya adalah sebagai alat perintah membayar, mengisi tiket (reissuence of new document), balance pembayaran dan lain-lain.

Dengan semakin banyaknya MCO beredar yang dikeluarkan oleh maskapai penerbangan, dan masyarakat luas, belum banyak mengetahuinya sehingga Penulis mengambil inisiatif untuk menulis dan menjadikannya salah satu sub topik kuliah “Hukum Kontrak Dagang Internasional”.

Aspek-aspek yang dibahas dalam tulisan adalah MCO sebagai surat berharga dan alat transaksi dalam penerbangan internasional dan masalah-rnasalah yang timbul dalam praktek penggunaannya.

BAB II

JENIS-JENIS SURAT BERHARGA

Sebelum membahas lebih lanjut tentang MCO, terlebih dahulu kita membahas mengenai surat berharga, SURAT BERHARGA Pengertian: Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang (Dunil Z : 2004).

Berikut ini contoh jenis-jenis surat berharga yang diperjualbelikan di pasar uang

Treasury Bills (T-Bills)

  • T-Bills merupakan instrument utang yang diterbitkan oleh pemerintah atau Bank Sentral atas unjuk dengan jumlah tertentu yang akan dibayarkan kepada pemegang pada tanggal yang telah ditetapkan.
  • Instrumen ini berjangka waktu jatuh tempo satu tahun atau kurang.
  • Instrumen yg sangat aman karena diterbitkan oleh pemerintah atau biasanya oleh Bank Sentral. Oleh karena itu instrumen ini sangat mudah diperjualbelikan dan disukai oleh perusahaan-perusahaan, terutama oleh lembaga-lembaga keuangan untuk dijadikan sebagai cadangan likuiditas sekuner yg memberikan hasil.
  • T-Bills (istilah umum digunakan di dunia internasional) kalau di Indonesia adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia).

Commercial Paper

  • Commercial Paper (CP) pada dasarnya merupakan promes yang tidak disertai dengan jaminan (unsequred promissory notes), diterbitkan oleh perusahaan untuk memperoleh dana jangka pendek dan dijual kepada investor dalam pasar uang. Penerbit berjanji akan membayar sejumlah tertentu uang pada saat jatuh tempo. Penerbit CP adalah perusahaan yang mempunyai kredibilitas tinggi.
  • Jangka waktu jatuh tempo CP ini berkisar mulai dari beberapa hari sampai 270 hari.
  • Penjualan CP dilakukan umumnya dengan sistem diskonto, namun beberapa diantaranya menggunakan bunga sebagaimana halnya dengan kredit.
  • Dalam pelaksanaannya seringkali CP diterbitkan dengan backup fasilitas credit line dari bank yang jumlahnya mendekati atau sama dengan nilai CP yang diterbitkan. Dalam perkembangannya di beberapa negara, CP diterbitkan dengan dukungan aset perusahaan lainnya, misalnya piutang, dsb. Bahkan perkembangan terakhir CP diterbitkan dengan bank garansi atau jaminan dari perusahaan induknya. Namun kasus ini terjadi bila investor tertentu meminta jaminan dari nilai CP yang dibeli dalam jumlah besar.
  • Penerbitan CP dapat dilakukan secara langsung kepada investor maupun secara tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara.

Kelebihan CP bagi penerbit dan investor antara lain sbb:

Bagi Penerbit:

a. Tingkat bunga CP lebih rendah daripada prime rate, yaitu tingkat bunga kredit yang dikenakan perbankan kepada nasabah utamanya, sehingga biaya dana akan menjadi lebih murah.

b. Tidak perlu menyediakan jaminan.

c. Penerbitannya relatif lebih mudah karena pada prinsipnya hanya melibatkan penerbit dan investor.

d. Jangka waktu jatuh temponya lebih fleksibel, dapat diperpanjang atas persetujuan investor.

Bagi Investor:

a. CP menawarkan penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan misalnya Sertifikat Deposito, Treasury Bills.

b. Dapat dijual kembali (didiskontokan) tanpa perlu menunggu jatuh temponya.

c. Tingkat keamanannya relatif tinggi karena penerbit CP umumnya perusahaan dengan rating yang tinggi.

Kelemahan CP dilihat dari kepentingan investor dan penerbit antara lain:

  1. Bagi investor, CP merupakan instrumen yang tidak disertai dengan jaminan. Kemungkinan penerbit melakukan rekayasa laporan keuangan untuk memperlihatkan keadaan likuiditas dan kemampuan perolehan labanya.
  2. Bagi perusahaan penerbit, CP merupakan sumber dana jangka pendek sehingga perusahaan kurang leluasa untuk dijadikan sebagai modal investasi.

Sertifikat Deposito atau negotiable certificate of deposit (CD)

  • Deposito berjangka yang bukti simpanannya dapat diperdagangkan. Jadi mempunyai ciri pokok dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan sebelum jangka waktu jatuh temponya.
  • Di Indonesia, CD diterbitkan oleh bank-bank umum atas dasar diskonto. Perhitungan diskonto CD tersebut sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.

Banker’s Acceptance (BA)

BA adalah time draft (wesel berjangka) yang ditarik oleh seorang eksportir atau importir atas suatu bank untuk membayar sejumlah barang atau untuk membeli valuta asing. Apabila bank menyetujui wesel tersebut, bank akan menstempel dengan kata ”accepted” di atas wesel tersebut dan memprosesnya. Dengan demikian bank yang menerima dan memproses tersebut memiliki suatu janji atau jaminan tak bersyarat untuk membayar sebesar nilai nominal aksep tersebut pada saat jatuh tempo. Hal tersebut berarti bank yang bersangkutan menjamin eksportir dan investor dalam pasar uang internasional dari kemungkinan adanya gagal bayar (default). Jangka waktu akseptasi biasanya berkisar 30 sampai 270 hari, namun umumnya 90 hari. Aksep ini merupakan instrumen pasar uang yang berkualitas tinggi. Akseptasi bank sangat aktif diperdagangkan antar lembaga-lembaga keuangan, perusahaan industri, dealer surat-surat berharga sebagai investasi yang berkualitas tinggi dan sangat mudah diuangkan. Aksep digunakan dalam perdagangan ekspor impor karena banyak eksportir yang tidak pasti dan tidak yakin betul terhadap credit standing importir yang dikirimi barang. Eksportir sangat tergantung paa pembiayaan akseptasi oleh bank domestik atau suatu bank asing. Dengan demikian, aksep adalah instrumen keuangan yang dirancang untuk mengalihkan resiko perdagangan internasional kepada pihak ketiga yang akan mengambil resiko tersebut karena ia memiliki keahlian dalam menilai resiko kredit dan menyebarkan resiko tersebut dalam berbagai pinjaman. Ketiga pihak dalam transaksi tersebut yaitu eksportir, importir dan bank penerbit, mendapatkan keuntungan dari metode pembiayaan perdagangan internasional ini sebagai berikut:

  1. Eksportir dapat menerima uangnya segera tanpa penundaan.
  2. Importir dapat menunda pembayarannya sesuai dengan jangka waktu credit line yang disepakati dengan bank.
  3. Bank penerbit yang memegang Banker’s Acceptance (didiskonto dari eksportir) merupakan instrumen keuangan yang sangat likuid yang dapat dijual sebelum jatuh tempo melalui dealer bila membutuhkan likuiditas.

Bill of Exchange

  • Bill of Exchange atau wesel adalah suatu perintah tertulis tak bersyarat yang ditujukan oleh seseorang kepada pihak lainnya untuk membayar sejumlah uang pada saat diperlihatkan atau pada tanggal tertentu kepada penarik atau order atau pembawa.
  • Karena sifatnya yang likuid, artinya penjual boleh melakukan pembayaran lebih awal sebelum wesel tersebut jatuh tempo dengan cara mendiskontokannya kepada bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya sebagai investasi jangka pendek, maka instrumen ini sangat umum digunakan dalam perdagangan.
  • Penarikan wesel ini biasanya selalu didahului dengan adanya transaksi jual beli barang. Dimana penjual akan menjadi penarik wesel dan pembeli barang sebagai tertarik.
  • Jangka waktu jatuh tempo wesel ini umumnya berkisar 6 hari sampai 180 hari.
  • Pada prinsipnya Bill of exchange ini akan berubah menjadi Banker’s Acceptance apabila telah diaksep oleh bank. Oleh karena itu wesel ini dapat diperjualbelikan secara diskonto.

Repurchase Agreement (Repo)

  • Repo adalah transaksi jual beli surat-surat berharga disertai dengan perjanjian bahwa penjual akan membeli kembali surat-surat berharga yang dijual; tersebut pada tanggal dan dengan harga yang telah ditetapkan lebih dahulu.
  • Surat-surat berharga yang biasanya dijadikan sebagai instrumen dalam transaksi Repo adalah surat-surat berharga yang dapat diperjualbelikan secara diskonto, misalnya SBI, SBPU, CD, CP dan T-bills

Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

  • SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
  • Karakteristik SBI:

² Satuan unit sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).

² Berjangka waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan.

² Penerbitan dan perdagangan dilakukan dengan sistem diskonto.

² Diterbitkan tanpa warkat, artinya SBI diterbitkan tanpa adanya fisik SBI itu sendiri dan bukti kepemilikan bagi pemegang hanya berupa pencatatan elektronis.

² Dapat dipindahtangankan (negotiable).

  • SBI sebagai instrumen kebijaksanaan operasi pasar terbuka, terutama untuk tujuan kontraksi moneter. SBI yang ditebitkan dan diperdagangkan dengan sistem lelang, pada dasarnya penggunaannya sama dengan penggunaan T-Bills di pasar uang Amerika Serikat. Melalui penggunaan SBI tersebut, BI dapat secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat bunga di pasar uang dengan cara mengumumkan Stop Out Rate (SOR).
  • SOR adalah tingkat suku bunga yang diterima oleh BI atas penawaran tingkat bunga dari peserta lelang. Selanjutnya, SOR tersebut akan dapat dipakai sebagai indikator bagi tingkat suku bunga transaksi di pasar uang pada umumnya.
  • SOR merupakan kebijakan Bank Indonesia dalam melakukan penjualan SBI secara lelang kepada Bank atau Lembaga Keuangan atau melalui Broker, dengan tujuan:
  1. Untuk mengendalikan baik volume uang beredar maupun tingkat bunga melalui target volume yang diinginkan dan tingkat bunga dalam suatu batas tertentu.
  2. Dengan menyerahkan tingkat bunga pada Prime Dealer untuk jumlah 60%, maka tingkat bunga menjadi wajar.

Pola pembelian SBI:

o Pembelian melalui Pasar Perdana (langsung ke BI)

o Pembelian melalui Pasar Sekunder

o Pembelian melalui Broker

Sebelum jatuh tempo SBI boleh diperjualbelikan, baik oleh Bank, LKBB, maupun masyarakat atau dunia usaha setiap saat melalui pasar sekunder. Untuk itu Security House (perantara) akan membeli atau menjual SBI setiap hari dengan tingkat diskonto yang berlaku di pasar. Untuk memperlancar perdagangan SBI ini Bank Sentral Indonesia menunjukkan beberapa market dan broker yang terdiri dari Bank-bank Umum sebagai lembaga penunjang dalam perdagangan SBI. Market maker disini bertindak sebagai penggerak pasar sekunder. Dalam hal ini market maker bertindak sebagai dealer yang berkewajiban sbb:

  • Membuat dan mengumumkan quotation.
  • Secara aktif mengajukan penawaran dan permintaan SBI di pasar sekunder.
  • Membeli dan menjual SBI dari dan kepada pihak yang mencari dan menawarkan SBI di pasar sekunder. Pembelian dan penjualan SBI dapat dilakukan baik secara outright maupun repo. (Transaksi outright adalah transaksi jual beli SBI atas dasar sisa jangka waktu SBI yang bersangkutan, tidak ada kewajiban bagi penjual untuk membeli kembali sebelum jatuh tempo; sedangkan transaksi repo adalah transaksi dengan perjanjian bahwa penjual wajib membeli kembali SBI yang bersangkutan sesuai jangka waktu yang dijanjikan).

2.1 Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)

SBPU adalah surat-surat berharga berjangka pendek yang dapat diperjualbelikan secara diskonto dengan Bank Indonesia atau lembaga diskonto yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.

SBPU sama halnya dengan SBI merupakan instrumen operasi pasar terbuka dalam rangka ekspansi moneter oleh BI dengan menetapkan tingkat diskonto SBPU. Ditinjau dari jenis transaksi dan warkatnya, SBPU dapat dibedakan sbb:

a. Surat Sanggup (aksep/promes), dapat berupa:

  • Surat sanggup yang diterbitkan oleh nasabah dalam rangka penerimaan kredit dari bank untuk membiayai kegiatan tertentu.
  • Surat sanggup yang diterbitkan oleh bank dalam rangka pinjaman antar bank.

b. Surat wesel, dapat berupa:

  • Surat wesel yang ditarik oleh suatu pihak dan diaksep oleh pihak lain dalam rangka transaksi tertentu. Penarik dan atau tertarik adalah nasabah bank.
  • Surat wesel yang ditarik oleh nasabah bank dan diaksep oleh bank dalam rangka pemberian kredit untuk membiayai kegiatan tertentu.

Mekanisme perdagangan SBPU adalah dunia usaha atau masyarakat yang merupakan nasabah berbentuk badan usaha maupun perorangan meneluarkan surat aksep atau wesel (sebagai surat utang) untuk mendapatkan dana dari Bank atau LKBB (Lembaga Keuangan bukan Bank). Kemudian SBPU dijualbelikan oleh Bank dan LKBB melalui security house (perantara) maupun melalui pasar sekunder, yaitu diperjualbelikan antara lembaga-lembaga keuangan itu sendiri serta dunia usaha atau masyarakat. SBPU ini melalui security house juga bisa dijualbelikan ke Bank Sentral Indonesia.

2.2 Call Money (Interbank Call Money Market)

  • Call Money adalah penempatan atau peminjaman dana jangka pendek (dalam hitungan hari) antar bank.

· Call Money merupakan instrument bank dalam mengatasi kekurangan atau kelebihan dana jangka pendek yang bersifat sementara. terutama dilihat dari segi hukum pada umumnya.

Surat berharga, yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai "waarde-papieren" atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai "Negotiable Instrumenst", di dalam per undang-undangan Indonesia tidak dapat kita jumpai suatu rumusan pengertian atau definisi surat-surat berharga. Menurut Abd. Kadir Muhammad, SH ada dua macam surat yaitu:

A. Surat berharga dan

B. Surat yang mempunyai harga atau nilai-nilai

2.3 Surat berharga

Surat berharga adalah surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit atau setiap derivatif dan surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal maupun pasar uang, (UU No. 7/1992 tentang Perbankan).

Dengan diterbitkannya surat itu oleh penerbit maka pemegangnya berharap memperoleh pembayaran dengan jalan menunjukkan dan menyerahkan surat itu kepada pihak ketiga atau yang menyanggupi. Dalam suatu surat berharga tercantum suatu istilah tertentu dan hak atas jumlah uang tersebut mengikuti suratnya. Ini berarti bahwa hak dan surat/kertasnya terjalin satu sama lainnya, atau dengan perkataan lain dalam suratnya mengandung suatu hak yang tidak dapat dipisahpisahkan. Pemegang/holder dari satu surat berharga dapat atas namanya sendiri untuk menuntut pembayaran terhadap penarik, asal saja surat berharga itu diperolehnya secara jujur berdasarkan itikad baik.

Pemegang yang jujur tidak perlu menghiraukan apakah pemegang sebelumnya terdapat cacat atau tidak dalam memperolehnya. Hak tagih itu dapat dialihkan kepada pemegang berikutnya dengan mudah dan surat berharga itu dapat juga diperdagangkan. Hal itu karena adanya clausaclausa pada surat berharga yang sengaja diadapat dikenali dengan tujuan agar dapat

diperalihkan kedudukan hukum sipemegang surat kepada orang lain yang menerima pengalihannya.

Pengertian lain, surat berharga merupakan surat bukti tuntutan hutang, pembawa hasil dan mudah diperjual belikan, dari pengertian ini istilah surat adalah berupa ata berupa surat yang ditanda tangani, sengaja dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Penanda tanganan tersebut terikat kepada semua yang tercantum dalam alamat tersebt, dan merupakan tanda bukti adanya perikatan dari si penanda tanganan. Dengan perkataan lain datang disini adalah merupakan perikatan yang harus di bayarkan oleh sipenanda tangan akta (debitur). Sebaliknya si pemegang akta mempunyai hak menuntut penanda tangan akta tersebut. Tuntutan itu dapat berupa uang, cek dapat berwujud benda (konosement) dan dapat pula berupa tuntutan lain. Sedangkan yang dimaksud dengan hak adalah hak untuk menuntut sesuatu

pada debitur, yang melekat pada akta surat berharga seolah-olah menjadi satu. Hal ini berarti kalau akta itu hilang musnah maka hak menuntut juga menjadi hilang. Untuk unsur mudah diperjual belikan harus diberi bentuk “aan order, to order" (kepada pengganti) atau bentuk "aan toonder, to bearer" (kepada pembawa). Surat berharga dengan bentuk kepada pengganti diserahkan kepada orang lain dengan cara endosemer, sedangkan bentuk kepada pembawa diserahkan kepada orang lain dengan cara menyerahkan secara phisik. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam pasal. 163 (3) KUH Perdata.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa surat berharga itu mempunyai tiga fungsi uatama yaitu:

1. Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang);

2. Sebagai alat untuk memindahkan hal tagih (diperjual belikan dengan mudah dan sederhana);

3. Sebagai surat bukti hak tagih.

2.4 Surat Yang Mempunyai Harga Atau Nilai

Surat ini adalah sebagai bukti diri bagi pemegangnya sebagai orang yang berhak atas apa yang tersebut didalamnya, jadi bukan untuk atau pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang. Surat ini juga tidak dapat diperjual belikan karena tujuannya bukan untuk diperjual belikan. Jika para pihak (kreditur/debitur) megalihkan surat itu harus diberitahukan kepada pihak yang megeluarkan. Mengenai pemberitahuan ini. tidalk terdapat pada surat berharga. Dengan kata lain surat yang mempunyai harga atau nilai ini hanya sekedar alat bukti diri bagi pemegang bahwa dia sebagai orang yang berhak atas apa yang disebutkan untuk menikmati hak yang disebutkan dalam surat itu.

BAB III

JENIS-JENIS SURAT BERHARGA

3.1 Surat berharga dalam KUHD

Ketentuan-ketentuan megenai surat berharga diatur dalam Buku I titel 6 dan titel 7 KUHD yang berisi tentang :

1. Wessel

2. Surat sanggub

3. Cek

4. Kwitansi-kwitansi dan promes atas tunjuk

5. Dan lain-lain

Surat wessel adalah surat berharga yang memuat kata wessel didalamnya, diberikan tanggal dan ditandatangani disuatu tempat, dalam mana sipenerbit memberi perintah tanpa syarat kepada tersangkut untuk pada hari bayarmembayar sejumlah uang kepada orang (penerima) yang ditunjuk oleh penerbit atau penggantinya disuatu tempat tertentu.

Syarat-syarat formil bagi suatu wessel diatur dalam pasal 100 KUHD bahwa. suatu surat wessel harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:

· Kata "wesel", disebut dalam teksnya sendiri dan di istilahkan dalam bahasa surat itu;

· Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu;

· Nama si pembayar/tertarik;

· Penetapan hari bayar;

· Penetapan tempat dimana pembayaran harus dilakukan;

· Nama Orang/pihak kepada siapa atau pihak lain yang ditunjuk olehnya pembayaran harus dilakukan;

· Tanggal dan tempat ditariknya surat wesel;

· Tanda tangan pihak yang mengeluarkan (penarik)

Kedelapan syarat tersebut diatas harus selalu tercantum dalam surat wesel.

Tidak dipenuhinya salah satu syarat tersebut maka surat itu tidak berlaku sebagai surat wesel kecuai dalam hal-hal berikut:

- Kalau tidalk ditetapkan hari bayarnya maka wesel itu dianggap harus dibayar pada hari diunjukkannya (wesel unjuk)

- Kalau tidak ditetapkan tempat pembayaran tempat yang ditulis disamping nama tertarik dianggap sebagai tempat pembayaran dari tempat dimana tertarik berdomisili.

- Kalau tidalk disebutkan tempat wesel itu ditarik, maka tempat yang disebut disamping nama penarik. dianggap tempat ditariknya wesel itu.

Bagi surat wesel yang penyimpangannya tidak seperti tersebut diatas, maka surat wesel itu bukan wesel yang sah, dan pertanggungan jawabnya dibebankan kepada orang yang menandangani surat wesel itu.

3.2 Surat Sanggub.

Surat sanggub adalan surat berharga yang memuat kata "aksep” atau Promes dalam mana penerbit menyanggupi untuk membayar sejumlah yang kepada orang yang disebut dalam surat sanggub itu atau penggantinya atau pembawanya pada hari bayar.

Ada dua macam surat sanggub, yaitu surat sanggub kepada pengganti dan surat sanggub kepada pembawa. Agar jangan tinggal keragu-raguan HMN Purwosutjipto, menyebutkan surat sanggub kepada pengganti dengan "surat sanggub" saja, sedangkan surat sanggub kepada pembawa disebutnya "surat promes". Surat sanggub mirip dengan surat wesel, tetapi berapa syarat pada surat wesel tidak berlaku pada surat sanggub, perbedaannya dengan surat wesel adalah:

a. Surat sanggub tidak mempunyai tersangkut;

b. Penerbit dalam surat sanggub tidak memberi perintah untuk membayar, tetapi menyanggulpi untuk membayar;

c. Penerbit surat sanggub tidak menjadi debitur regres, tetapi debitur surat sanggub;

d. Penerbit tidalk menjamin seperti pada penerbit wesel, tetapi melakukan pembayaran sendiri sebagai debitur surat sanggub.

e. Penerbit surat sanggub merangkap kedudkan sebagai akseptan pada wesel yaitu mengikatkan diri untuk membayar.

Sebagaimana dengan surat wesel, Undang-Undang juga mengharuskan adanya berapa syarat yang harus terdapat dalam surat sanggub supaya dapat disebutkan surat seperti yang diatur dalam pasal 174 KUH Dagang yaitu :

- baik clausula: sanggub", maupun nama "surat sanggub" atau promes atas pengganti yang dimuatkan didalam teks sendiri, dan dinyatakan dalam bahasa dengan mana surat itu disebutkan .

- Janji yang tidak bersyarat untuk membayar suatu jumlah tertentu.

- Penunjkan hari gugur.

- Penunjukan tempat, dimana pembayaran harus terjadi.

- Nama orang, kepada siapa atau kepada penggantinya pembayaran itu harus

- dilakukan.

- Penyebutan hari penanggalan, beserta tempat, dimana surat sanggub itu di

- tanda tangani.

- Tanda tangan orang yang mengeluarkan surat itu.

3.3 CEK

Cek adalah surat berharga yang memuat kata cek/cheque dalam mana penerbitannya memerintahkan kepada bank tertentu untuk membayar

sejumlah uang kepada orang yang namanya disebut dalam cek, penggantinya, pembawanya pada saat ditunjukkan. Dalam pasal 178 KUHD ditentukan syaratsyarat yang harus dipenuhi bagi suatu cek dan kalau salah satu syarat dalam pasal, tersebut tidak dipenuhi, maka kertas itu tidak dapat diperlakukan sebagai cek.

Syarat-syarat tersebut adalah:

a. Pada setiap cek harus terdapat kata cek dan dinyatakan dalam bahasa cek itu ditulis;

b. Perintah tidak bersyarat untuk membayar suatu jumlah tertentu;

c. Nama orang (bankir) yang harus membayar;

d. Penunjukkan tempat dimana pembayaran harus terjadi;

e. Penyebutan tanggal serta 'tempat dimana cek ditertibkan;

f. Tanda tangan dari orang yang menerbitkan cek

Berdasarkan pasal 180 KUHD, cek itu harus diterbitkan pada seorang bankir yang mempunyai fonds untuk dipergunakan oleh penerbit. Dana tersebut dapat disetor sendiri oleh orang yang mengeluarkan cek dapat pula dipinjamkan dahulu oleh suatu bankir, yang memberi kredit kepada yang mengeluarkan cek kosong.

Mengenai penyetoran tersebut belakangan ini yang harus melunasi kredit itu adalah yang menerbitkan cek tersebut, kalau tidak ada dana maka mengeluarkan cek itu adalah cek kosong.

Mengenai kewajiban meyediakan dana ini Mahkamah Agung RI (MARl) pernah mengeluarkan keputusan tanggal 27 Mei 1970 yang berbunyi: Dalam hukum cek bagaimanapun, kedaannya seorang penarik tetap berkewajiban, bagi cek yang di tariknya disediakan dana yang cukup.

3.4 Kwitansi-kwitansi dan promes atas tunjuk

Yang dimaksud dengan kwitansi atau kwitansi atas untuk dapat kita lihat dari definisi yang dikemukakan oleh Mr. Chr Zevenbergen yang dikutip oleh Emy Pangaribuan yaitu: Kwitansi atas unjuk adalah suatu surat yang ditanggali, diterbitkan oleh penanda tangannya terhadap orang lain untuk suatu pembayaran sejumlah uang yang ditentukan didalamnya kepada penunjuk (atas unjuk) pada waktu diperlihatkan. Dalam kwitansi atas unjuk tersebut tidak disyaratkan tentang selalu adanya klausula atas unjuk.

3.5 Surat Berharga Diluar KUHD

Surat berharga, tidak hanya terdapat dalam KUHD tetapi selain itu masih banyak lagi, akibat dari perkembangan masyarakat dan kebutuhan praktis dunia perdagangan sehingga hukum itu selalu ketinggalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.

Surat-surat berharga di luar KUHD itu antara lain:

1. Bilyet Giro

2. Travels Cheque

3. Credit Card

4. MCO (dibahas secara khusus dalam Bab IV)

3.5.1 Bilyet Giro

Bilyet Giro adalah surat perintah tak bersayarat dari nasabah yang telah di bakukan bentuknya kepada bank penyimpan dana untuk memindahkan sejumlah dana dari rekening giro yang bersangkutan kepada pihak penerima yang disebutkan namanya, kepada bank yang sama atau kepada bank lainnya (Purwosutjipto), dengan demikian pembayaran dana Bilyet Giro tidak dapat dilakukan dengan uang tunai dan tidak dapat di pindah tangan kan melalui endosemen (SK Direksi Bank Indonesia No.4/670, Sub 1).

Kedudukan Bilyet Giro dengan cek hampir sama, hanya bedanya cek adalah alat pembayaran tunai sedangkan bilyet giro merupakan alat pembayaran yang bersifat giral, dengan cara memindah bukukan sejumlah dana dari sipenerbit.

Bilyet Giro merupakan surat yang berharga karena tidak boleh endosemen kepada orang lain. Karena di endosemen saja dilarang, apalagi diserahkan secara phisik sudah tentu dilarang. Karena larangan untuk diendosemen, itu berarti arangan juga untuk menjual kepada orang lain dengan kata lain sukar (tidak boleh) diperjual belikan.

Pengaturan mengenai Bilyet Giro ini didasarkan kepada SEBI No. 4/670 UPPB/PBB tanggal 24 Januari 1972 yang berisikan tentang :

a. Pengertian dari Bilyet Giro

b. Bentuk Bilyet Giro

c. Tenggang waktu berlakunya bilyet giro

d. Pengisian bilyet giro

e. Kewajiban menyediakan dana dan sanksi bilyet giro kosong

f. Pembatalan bilyet giro.

g. Tata cara perhitungan bilyet giro antar bank setempat

h. Penyimpangan bentuk/masa peralihan.

SEBI ini bertujuan untuk mengatur prosedur pemakaian alat-alat pembayaran giral dalam bentuk bilyet giro untuk seluruh bank umum dan Bank Pembangunan Daerah di Indonesia.

3.5.2 Travels Cheque

Travels cheque atau cek perjalanan adalah surat yang berharga dikeluarkan oleh sebuah bank, yang mengandung nilai, dimana bark penerbit sanggub membayar sejumlah uang sebesar nilai nominalnya kepada orang yang tanda tangannya tertera ada cek perjalanan itu. Adapun istilah yang dipakai untuk cek perjalanan ini bermacam-macam tergantung dari bank penerbitnya. Travels Cheque biasanya mempunyai dua bentuk kata CB. Drover dan RWB Bosley. Bentuk yang pertama ialah dengan dinyatakan diterbitkan oleh orang yang berpergian dan bank menukarkan apa saja yang kita inginkan, yaitu ditempat, dimana saja ada cabang yang dapat menerima credit card, dari bank atau dari bank atau perusahaan yang mengeluarkannya.

Thomas Suyatno menulis, credit card atau kartu kredit card adalah alat pembayaran yang berupa sebuah kartu yang terbuat dari sejenis pelastik dimana di cetak nama sipemegang kartu tersebut, nomor kenaggotaannya dan contoh tanda tangannya.

Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa credit card it mempunyai ciri-ciri dari suatu credit card yaitu merupakan kartu plastik yang berukuran hampir sama dengan kartu tanda penduduk (KTP) yang berisikan:

a. Keterangan tentang Badan Hukum perusahaan/bank penerbit (Nama/Logo)

b. Kata Card atau dalam istilah Indonesia Kartu

c. Identitas pemegang kartu

d. Tanda tangan pemegang kartu

e. Nomor urut credit card

f. Keterangan masa berlaku kartu

Dengan pencantuman nama/identitas pemegangnya kartu, ini menjadi tanda pengenal baginya bahwa dengan menunjukan kartu kepada merchant tertentu, ia akan memperoleh, fasilitas yang terkait dengan credit card itu. Selain itu pemegang credit card dapat membeli barang dan jasa tanpa harus membayar saat itu juga.

Itulah sebabnya kartu ini disebut kartu kredit, oleh karena kartu ini kepada merchant telah diberi jaminan oleh penerbit bahwa kredit pemegang akan dilunasi oleh penerbit setelah adanya perjanjian terlebih dahulu.

Credit card dalam prakteknya bermacam jenisnya yang dapat dibedakan dari segi :

3.6 Tujuan Penerbit (Issuer)

- Kartu kredit umum, tujuannya untuk mencari keuntungan bagi penerbit itu sendiri yang terdiri dari "bank card" yang di terbitkan oleh bank seperti: Master Card, Visa Card dan lain-lain. "National Card" yang diterbitkan oleh lembaga keuangan bukan bank seperti: American Expres, Dinners Club dan lain-lain.

- Credit Card khusus, tujuannya untuk memperlancar usaha perusahaan tersebut, dengan memperkenalkan hasil-hasil produksi jadi bukan mencari laba semata.

Fungsinya:

- Credit card, yang dalam penggunaannya sebagai alat pembayaran dalam membayar tagihannya pemegang kartu tidak membayar sekaligus seluruh rekening tetapi bertahap dengan batasan tertentu berapa harus dibayar, dan sisanya dibayar dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan oleh penerbit dalam perjanjian dan ditambah dengan bunga.

- Charge card, atau kartu pembayaran lunas. Pemegang charge card ini harus melunasi seluruh tagihan yang disodorkan kepadanya tanpa diberi waktu untuk menunda atau mengangsur.

Fasilitas yang diberikan:

- American ekspress card mengeluarkan tiga jenis yaitu "Premier Card" dan "Green Card”, ini diberikan kepada kalangan umum dengan batas pembelanjaan US $ 2500 dengan penghasilan US $ 15.000. "Gold Card" kartu ini diberikan kepada kalangan tertentu (direktur) atau sederajat dengan penghasilan rata-rata US $ 40.000/tahun. "Platina Card” diberikan pejabat tinggi (executive) menteri atau konglomerat.

- Master card, yang mengeluarkan dua jenis kartu yaitu, "Ordinary Card yang diperuntukan bagi golongan masyarakat yang mampu atau menengah keatas dengan penghasilan Rp. 10.000.000/tahun. "Gold card" ini diperuntukan bagi yang mengeluarkannya ikut serta menanda tangani atau bentuk kedua, diterbitkan oleh bank atas dirinya sendiri dan ikut serta ditanda tangani oleh orang yang berpergian.

Orang dapat membeli cek perjalanan ini dengan cara membeli pada bank penerbit atau agen-agennya dengan harga nominal ditambah dengan ongkos administrasi. Pada waktu membeli travel cheque pembeli harus membutuhkan tanda tangan dalam travel cek dihadapan penjual. Juga pada waktu menguangkan pemegang travel cheque tidak perlu membayar apa-apalagi, cukup bubuhkan tanda tanqan lagi.

Bila travel cheque hilang atau dicuri orang maka bank penerbit atau agennya dapat menggantinya bila di laporkan hilang. Jangka waktu berlakunya cek perjalanan ini tanpa batas, yang membedakannya dengan cek biasa yang masa berlakunya 70 hari. Cek perjalanan ini diterbitkan dalam kurs nilai rendah sampai tinggi. Yang penting diingat tanda bukti pembelian dsimpan terpisah dengan cek, perjalanannya, supaya walaupun cek perjalanannya hilang surat tanda pembelian ini menguatkan keyakinan kepada bank penerbit bahwa pelapor adalah benar-benar pemegang (pemilik) cek yang hilang.

Jadi apabila diteliti fungsi dan peranan cek perjalanan adalah sebagai berikut:

a. Bahwa seorang yang melakukan perjalanan tidak perlu lagi membawa uang tunai dalam jumlah yang banyak

b. Orang tersebut akan merasa dari resiko perampokan dan kehilangan uang. Syarat-syarat formal yang biasanya terdapat didalam suatu cek perjalanan, adalah sebagai berikut:

- Nama Travels Gheque secara Tersendiri

- Nilai nominal dari travels cheque

- Nama bank yang mengeluarkan

- Nomor seri dari tanggal pengeluaran cek perjalanan

- Tanda tangan orang yang berpergian pada waktu pembelian TC tanda tangan pada waktu penguangan cek perjalanan

- Perintah membayar tanpa syarat

- Dapat dibayarkan sebagai alat pembayaran yang sah

- Tanda tangan dari bank penerbit.

3.7 Credit Card

Credit card atau kartu kredit adalah kartu plastik yang dikeluarkan oleh issuer yaitu bank atau lembaga keuangan lainnya, yang fungsinya adalah sebagai pengganti uanq tunai. Seperti beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ahli antara lain:

Imam Prayogo dan Joko Prakoso, menyatakan "credit card" adalah suatu jenis alat pembayaran, sebagai pengganti uang tunai dimana kita sewaktu-waktu dapat menukarkan apa saja yang kita inginkan, yaitu ditempat, dimana saja ada cabang yang dapat menerima credit card, dari bank atau dari bank atau perusahaan yang mengeluarkannya.

Thomas Suyatno menulis, credit card atau kartu kredit card adalah alat pembayaran yang berupa sebuah kartu yang terbuat dari sejenis pelastik dimana di cetak nama sipemegang kartu tersebut, nomor kenaggotaannya dan contoh tanda tangannya.

Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa credit card it mempunyai ciri-ciri dari suatu credit card yaitu merupakan kartu plastik yang berukuran hampir sama dengan kartu tanda penduduk (KTP) yang berisikan:

a. Keterangan tentang Badan Hukum perusahaan/bank penerbit (Nama/Logo)

b. Kata Card atau dalam istilah Indonesia Kartu

c. Identitas pemegang kartu

d. Tanda tangan pemegang kartu

e. Nomor urut credit card

f. Keterangan masa berlaku kartu

Dengan pencantuman nama/identitas pemegangnya kartu, ini menjadi tanda pengenal baginya bahwa dengan menunjukan kartu kepada merchant tertentu, ia akan memperoleh, fasilitas yang terkait dengan credit card itu. Selain itu pemegang credit card dapat membeli barang dan jasa tanpa harus membayar saat itu juga. Itulah sebabnya kartu ini disebut kartu kredit, oleh karena kartu ini kepada merchant telah diberi jaminan oleh penerbit bahwa kredit pemegang akan dilunasi oleh penerbit setelah adanya perjanjian terlebih dahulu.

Credit card dalam prakteknya bermacam jenisnya yang dapat dibedakan dari segi :

Tujuan Penerbit (Issuer)

- Kartu kredit umum, tujuannya untuk mencari keuntungan bagi penerbit itu sendiri yang terdiri dari "bank card" yang di terbitkan oleh bank seperti: Master Card, Visa Card dan lain-lain. "National Card" yang diterbitkan oleh lembaga keuangan bukan bank seperti: American Expres, Dinners Club dan lain-lain.

- Credit Card khusus, tujuannya untuk memperlancar usaha perusahaan tersebut, dengan memperkenalkan hasil-hasil produksi jadi bukan mencari laba semata.

Fungsinya:

- Credit card, yang dalam penggunaannya sebagai alat pembayaran dalam membayar tagihannya pemegang kartu tidak membayar sekaligus seluruh rekening tetapi bertahap dengan batasan tertentu berapa harus dibayar, dan sisanya dibayar dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan oleh penerbit dalam perjanjian dan ditambah dengan bunga.

- Charge card, atau kartu pembayaran lunas. Pemegang charge card ini harus melunasi seluruh tagihan yang disodorkan kepadanya tanpa diberi waktu untuk menunda atau mengangsur.

Fasilitas yang diberikan:

- American ekspress card mengeluarkan tiga jenis yaitu "Premier Card" dan "Green Card”, ini diberikan kepada kalangan umum dengan batas pembelanjaan US $ 2500 dengan penghasilan US $ 15.000. "Gold Card" kartu ini diberikan kepada kalangan tertentu (direktur) atau sederajat dengan penghasilan rata-rata US $ 40.000/tahun. "Platina Card” diberikan pejabat tinggi (executive) menteri atau konglomerat.

Master card, yang mengeluarkan dua jenis kartu yaitu, "Ordinary Card yang diperuntukan bagi golongan masyarakat yang mampu atau menengah keatas dengan penghasilan Rp. 10.000.000/tahun. "Gold card" ini diperuntukan bagi golongan menengah dengan penghasilan dibawah Rp.10.000.000,- dari lain-lain. Dari segi, pemegangnya credit card terdiri dari "Personal/Company Card Suplementery Card.

BAB IV

MCO (MISCELANEOUS CHARGES ORDER) SURAT BERHARGA DAN ALAT TRANSAKSI DALAM PENERBANGAN INTERNASIONAL

Miscellaneous charges order disingkat MCO adalah satu dokumen yang dikeluarkan oleh masing-masing maskapai penerbangan yang beroperasi secara Internasional, sebagai alat perintah membayar, untuk mengisi kembali ticket, balance pembayaran dan lain-lain.

MCO kalau kita definisikan, adalah suatu alat yang merupakan surat berharga (accountable document) memberikan service dalam bentuk:

1. Transportasi udara

2. Kelebihan bagasi

3. Penyewaan Mobil

4. Uang panjar balance yang dapat diuangkan kembali, Untuk mengcover pembayaran tiket dimuka dan lain-lain.

Dalam ketentuan-ketentuan konvensi yang ada, yang dihindari kesepakatan orang-orang penerbangan, sangat, tonjolkan itikad baik maksudnya orang-orang yang bekerja dan menggunakan MCO penuh dengan itikad baik saling mempercayai terhadap kondisi/status pengesahan yang satu dengan lainya. Saling menghonour diantara perusahaan-perusahaan penerbangan yang telah mengikat perjanjian angkutan antar penerbangan (Interline Traffic Agrement).

Masyarakat yang mengunakan MCO ini umumnya sudah mempunyai status gengsi sosial tertentu, tidak dapat diberlakukan secara umum, artinya tidak dapat digunakan oleh orang yang tinggal didesa/kota yang tidak mempunyai kaitan pada suatu (hak) organisasi penerbangan atau suatu organisasi perhotelan. MCO diterbitkan oleh perusahaan penerbangan sipil yang memiliki pesawat dan mempunyai jam penerbangan yang teratur (schedule Airlines). Tujuan mengeluarkan MCO tersebut adalah untuk penukaran, pemberian service kepada orang yang memanfaatkan pesawat udara dan merupakan pengamanan keuangan orang perorangan/group yang menggunakan fasilitas angkatan udara itu. Seseorang tidak dapat memiliki atau menguasai lembaran MCO tanpa menyetor uangnya kepada perusahaan penerbangan yang mengissued MCO tersebut. Ditinjau dari segi yang mengeluarkan MCO ada dua yaitu:

a. Yang dikeluarkan oleh kantor pusat lATA (International Air Transport Assaciation), yang berkedudukan di Monteral (Canada). MCO ini disebut lATA form.

b. Dikeluarkan oleh perusahaan penerbangan baik anggota lATA maupun tidak dengan syarat telah diakui oleh sebagian anggota penerbangan sipil.

Selain itu MCO dapat pula dibedakan dari nilai nominalnya yaitu:

- Jika tidak ditentukan untuk fasilitas apa MCO tersebut akan digunakan maka nilai nominalnya maximum $ 280 US. Atau equivalent dengan nilai tukar dalam mata uang lain.

- Bila ditentukan atau dispesifikasi untuk apa fasilitas apa digunakan MCO tersebut maka nilai nominalnya tidak terbatas.

Dari uraian diatas diketahui, bahwa tujuan pengeluaran CO adalah untuk pertukaran pemberian service kepada orang yang memanfaatkan pesawat udara dan merupakan pengamanan keuangan orang perorangan atau group yang menggunakan fasilitas angkutan udara sehingga banyak aspek yang dapat ditinjau, misalnyasi pengangkut, yang diangkut (orang atau barang), asuransi, perjanjian para pihak (pengangkut dan yang diangkut) dan ketentuan-ketentuan khusus dari negara-negara tersebut.

Hal itu semua secara garis besar diatur dalam ketentuan KUHD dan KUH Perdata yang merupakan aliran eropah continental namun dalam hal hukum udara peranan Anglo Saxon dari eropah continental bercampur sehingga makna hukum konversi mesti dikwalifisir lagi.

Hubungan penggunaan MCO dengan sipengangkut, yang diangkut asuransi dan lain-lain. lnilah yang menyebabkan lahirnya konvensi lATA mengenai MCO ini.

Berdasarkan Resolution 291 jo Reso 850 lATA Conference maka setiap badan usaha penerbangan yang tergabung dalam lATA atau bukan, tetapi menjadi setiap badan usaha penerbangan yang tergabung dalam lATA atau bukan, tetapi menjadi pihak yang ikut dalam perjanjian antara perusahaan penerbangan internasional lain berhak mengeluarkan MCO pembayaran ticket diantara mereka. Seperti misalnya Garuda Airways meng issued MCO untuk pembelian tiket Japan Air Line atau sebaliknya.

4.1 Masalah-Masalah Dalam Penggunaan MCO

Dalam penggunaan MCO ini ada beberapa masalah yang kemungkinan terjadi seperti pemalsuan atau hilang, perhitungan hutang diantara pengissued dan masalah hukum yang akan diperlakukan apabila timbul perselisihan.

1. Pemalsuan dan hilang

Kupon MCO terdiri dari beberapa kolom yang masing-masing sudah mempunyai standard seperti kolom nama untuk sipemegang, penggunaan untuk apa, dan kolom perusahaan yang mengissued serta kuponnya itu diberikan kode yang disesuaikan dengan kode penerbangan yang besangkutan dan metode komputernya. (contoh terlampir) Jika terjadi penyalah gunaan atau pemalsuan MCO maka tanggung jawab dibebankan kepada sipengissued pada waktu Clearing House di London, dengan ketentuan sipengissued dapat pula menuntut orang yang memalsukan MCO tersebut berdasarkan hukum negaranya sebagai Locus Delicti.

Masa berlaku MCO adalah satu tahun sejak dikeluarkan dan dapat diperpanjang oleh kantor yang mengeluarkannya. Mengenai masalah MCO yang hilang ada dua kemungkinan pertama MCOnya telah diisi dan yang kedua belum diisi.

a. MCO hilang setelah diisi, dalam hal ini yang berhak atas service tersebut harus segera melapor ke kantor terdekat Airlines yang mengeluarkannya dan disitu ditanda tangani pernyataan hilang, kemudian akan dikeluarkannya MCO yang baru atas persetujuan issueding office. MCO yang hilang tersebut akan dimasukkan dalam daftar hitam (black listed) yang akan dikirim ke setiap perusahaan penerbangan, agen diseluruh dunia.

b. MCO hilang belum diisi oleh Airlines yang bersangkutan dilakukan black listed keseluruh airlines agen dunia. MCO ini sangat berbahaya disebabkan dapat berlaku tanpa dispesifikasi dan nilainya bisa tidak terbatas. Dan tanda tangan didalam MCO sewaktu mengisi tidak ada seperti cek atau giro. Penggunaan stempelpun gampang ditiru sehingga MCO ini gampang disalah gunakan setiap orang. Oleh Karena itu untuk mengatasinya diperlukan kecermatan, ketelitian dan jika ada kecurigaan segera dilaporkan.

4.2 Perhitungan Hutang Diantara Pengissued.

Masalah perhitungar, hutang piutang atau komisi antara perusahaan penerbangan yang tergabung dalam lATA atau tidak yang menjadi pihak dalam perjanjian antara perusahaan pernerbangan internasional, akan diselesaikan dalam jangka waktu tertentu di clearing house di London, berdasarkan jumlah persentase

MCO yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan penerbangan yang lain. Misalnya suatu tiket menggnakan MCO yang dikeluarkan oleh Garuda untuk perjalanan ke Amsterdam dari Medan. Penerbangan Medan Jakarta Singapura naik Garuda, Singapura Colombo Amsterdam naik KLM, maka dengan mempergunakan MCO yang dikeluarkan garuda supaya dapat diketahui biayanya harus dihitung di Clearing house London.

Dengan demikian akan terdapat keseimbangan antara penerbangan dan terjadi suatu kerjasama yang harmonis.

4.3 Masalah hukum yang mengatur jika terjadi perselisihan.

Dalam dunia penerbangan terutama yang tergabung dalam IATA maka anggotanya juga harus tunduk kepada kententuan lATA yaitu konvensi Jenewa, dan mengenai peradilannya berpusat di New York. Jadi jika seandainya timbul perselisihan diantara pengissiued maka akan diselesaikan menurut peraturan yang mereka patuhi yaitu Resolution 291 jo Reso lATA yang isinya menyatakan "suatu perselisihan antara suatu perusahaan penerbangan akan diadili di New York.

DAFTAR PUSTAKA

Dunil Z, Kamus Istilah Perbankan Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2004

Riyadi Selamet, Banking Assets and Liability Management, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, 2007

Siamat Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Edisi Kelima, Jakarta, 2005

Sutojo Siwanto, The Management of Commercial Bank, PT Damar Mulia Pustaka, Edisi Baru, Jakarta, 2007

Abd. Kadir Muhammad, SH; Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Berharga, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1993, HMN. Purwosutjipto, SH ; Pengertian Hukum Dagang Indonesia (Hukum Surat Berharga), Djambatan, Jakarta, 1987.

Ny. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, SH ; Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Fakultas Hukum UGM, Jogjakarta, 1989.

Imam Prajogo Suryo Hadi Broto & Djoko Prakoso, Surat Berharga, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Thomas Suyatno at all, Kelembagaan Perbankan, Gramedia Jakarta, 1988. Prof. Subekti, SH & R.Tjitrosudibio ; KUH Dagang, PT.Pradnya Paramita (1991)

Prof. Subekti, SH & R. Tjitrosudibio ; KUH Perdata PT.Pradnya Paramita, Jakarta 1990.

Rasjimarmadja, SH ; Peranan Dan Aspek-aspek Hukum Surat-surat Berharga,

Seminar.

Air Line F'assanger Tariff IFD Sembiring, General Manager Travel Biro, PT. Mercu Eka Pacific, Medan (Wawancara).

Manual Of lATA Conference

Passage Manual Garuda